Pajak Rokok Bisa Atasi Defisit BPJS Kesehatan

Pajak rokok direncanakan akan digunakan untuk mengatasi defisit yang di alami oleh BPJS Kesehatan dimana defisist yang terjadi mencapai Rp 18 Triliun sejak tahun 2014. Diungkapkan oleh Direktur Perencanaan Pengembangan dan Manajemen Risiko BPJS Kesehatan Mundiharno cara terbaik untuk menutupi defisist adalah dengan memakai pajak rokok. 

Dari data yang ada selama 1 tahun pajak rokok dapat berkontribusi sebesar Rp13 triliun dimana dana sebesar itu cukup untuk mengatasi defisit. 50 persen dari pajak rokok itu seharusnya dialokasikan untuk kesehatan dimana alokasi ini belum berjalan. Untuk itu harus ada kemauan politik.


Persoalan terjadi nya deficit tidak akan bisa diatasi dengan iuran karena iuran BPJS Kesehatan saat ini masih dibawah perhitungan. Dimana saat ini iuran untuk kelas 1 Rp80.000/bulan, kelas 2 Rp53.000/bulan, dan kelas 3 Rp25.500/bulan. Hal ini diungkapkan oleh Mundiharno pada Kongres Perkumpulan Pakar Ekonomi Kesehatan Indonesia (InaHEA) ke-3. 

Kolektabilitas di kelompok peserta penerima upah (PPU) pun masih menjadi masalah. Semestinya, kata Mundiharno, iuran diperbesar. Dia menambahkan, untuk mengatasi defisit, BPJS Kesehatan mendapat dana talangan sebesar Rp6,8 triliun, dan pada tahun 2015 besar dana talangan Rp5 triliun. Secara terpisah Ketua InaHEA Profesor Hasbullah Thabrany menegaskan, tahun ini BPJS Kesehatan defisit sekitar Rp7 triliun. 

Defisit yang terjadi tersebut dapat diatasi dengan memanfaatkan mobilisasi dana cukai rokok yang besarnya mencapai Rp70 triliun setahun. Hanya saja, pemanfaatan dana cukai rokok untuk JKN belum berjalan. 

Menurut Thabrany, bantuan pemerintah untuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) diwujudkan dengan membayar iuran peserta miskin dan berpendapatan rendah yang tahun ini jumlahnya mencapai 92,4 juta jiwa. Adapun besar iuran Rp23.000/bulan. Dengan demikian total bantuan pemerintah yang disalurkan ke BPJS Kesehatan melalui anggaran Kementerian Kesehatan adalah Rp25,5 triliun. 

Menurut Ketua Kongres InaHEA ke-3 Profesor Laksono Trisnantoro terjadi ketidakadilan dalam penyelenggaraan BPJS Kesehatan yang dirasakan para peserta. Ini terjadi karena tidak seimbangnya fasilitas kesehatan dasar dan sumber daya manusia di bidang kesehatan antardaerah. “Kementerian Kesehatan (Kemenkes) hendaknya meningkatkan anggaran untuk membantu investasi sarana dan prasarana kesehatan di kabupaten/kota, serta provinsi. Naikkan gaji tenaga kesehatan di daerah terpencil. Kemenkes wajib menjamin pemerataan dan mengurangi ketimpangan pelayanan kesehatan,” tambah Laksono. [source :http://finansial.bisnis.com/read/20160729/215/570239/evaluasi-jkn-begini-cara-bpjs-kesehatan-atasi-defisit]