Pencegahan dan Pengendalian Resistensi Antimikroba

Penyakit infeksi oleh bakteri, virus, jamur dan parasit masih merupakan masalah utama di Indonesia. Profil kesehatan indonesia tahun 2015 menunjukkan bahwa penyakit infeksi merupakan masalah yang penting untuk segera diatasi, seperti: tuberkulosis, HIV/AIDS, malaria, kusat, diare, campak, difteri,pneumonia, kecacingan dan demam berdarah dengue.

Penatalaksanaan penyakit infeksi memerlukan antimikroba yang poten untuk mengeradikasi patogen di dalam tubuh pasien. Beban kesakitan penyakit infeksi yang tinggi diperberat lagi dengan munculnya patogen yang resisten terhadap antimikroba yang ada. Resistensi antimikroba sekarang merupakan masalah global karena meluasnya masalah ini diseluruh dunia baik di negara maju maupun berkembang.

Prediksi kematian yang berhubungan dengan resistensi mikroba pada tahun 2050 adalah 4.7 juta per tahun di Asia, yang menduduki urutan pertama dan disusul oleh afrika yang diperkirakan mencapai angka 4.15 juta pertahun (O'Neil 2014). Oleh karenanya, antimicrobial resistence (AMR) telah menjadi perhatian WHO dengan dikeluarkannya Global Action Plan pada tahun 2015 yang menitikberatkan pada lima tujuan strategis.
Sementara itu, tidak banyak obat antimicroba baru yang dapat dikembangkan pada saat itu.


Adu cepat antara kejadian resistensi terhadap Data surveilans yang dikumpulkan dari enam rumah sakit besar di Indonesia atas kerjasama antara PPRA,Balitbangkes dan WHO pada tahun 2013 menunjukkan frekuensi E.coli dan K.pneumoniae yang memproduksi extended-spectrum betalactamases (ESBL) berturut-turut berkisar antara 26%-57% dan 32%-57% (Paraton 2016).

Pada tahun 2013, WHO memperkirakan di Indonesia terdapat 6800 kasus multidrug resisten (MDR) TB. Diperkirakan MDR TB bertanggungjawab pada 2% dari kasus baru dan 12% tuberkulosis pengobatan berulang.

Penyebab terjadinya resistensi antibiotik secara global adalah multifaktorial dan kompleks, meliputi permasalahannya pada prescriber (ketidakpastian diagnosis, kurangnya pengetahuan, insentif dll), dispenser (penggunaan obat-obat standar, kurangnya aturan dispensing), pasien (tekanan terhadap dokter, pengobatan sendiri, akses antibiotik secara bebas) dan fasilitas pelayanan kesehatan (kurangnya pengendalian infeksi yang dapat memicu penyebaran organisme yang resisten terhadapa antibiotik).

Dengan demikian pencegahan dan pengendalian resistensi antimikroba semestinya melibatkan banyak pemangku kepentingan yakni pembuat kebijakan seperti kementrian kesehatan, BP POM, Kementrian pertanian, dinas kesehatan dan direktur rumah sakit, tenaga kesehatan seperti dokter, dokter gigi, apoteker, perawat dan bidan dan masyarakat luas seperti pasien, apotek, industri farmasi dan pedagang besar farmasi dan lain lain.

Indonesia sudah mulai menyiapkan piranti berupa regulasi dan tata kelola antimikroba yang dipergunakan untuk mengendalikan resistensi antrimikroba. Masih diperlukan peningkatan komitmen semua pihak untuk mengimplementasikan secara konsisten usaha pencegahan dan pengendalian resistensi antimikroba. 

Kerjasama yang baik diantara pemangku kepentingan sangat diperlukan untuk menahan laju resistensi antimikroba di Indonesia. Lebih jauh diperlukan intervensi multimodal di tingkat nasional meliputi regulasi dispensing, edukasi kepada masyarakat, dispenser dan prescribers, pencegahan infeksi dengan mengoptimalkan imunisasi, pernbaikan sanitasi dan kebersihan di tingkat masyarakat dan pelayanan kesehatan serta peningkatan surveilans penggunaan antibiotik rasional dan surveilans resistensi antibiotik.

Demikian pentingnya pemahaman masalah resistensi antimikroba di Indonesia maka pada penyelenggaraan Scientific meeting (ASM) yang kesepuluh yang akan digelar di Auditorium Fakultas Kedokteran Univesitas Gadjah mada Yogyakarta pada 4 Maret 2017 ini, panitia mengangkat tema "Pencegahan dan pengendalian resistensi antimikroba. Diharapkan masalah resistensi antimikroba ini dapat dipahamai dengan satu kesadaran bahwa masyarakat Indonesia harus bersama-sama secara sungguh sungguh dan konsisten memerangi resistensi antimikroba untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat secara menyeluruh.

Adapun topik yang akan disampaikan pada acara seminar nasional tersebut meliputi:
-Impact of antimicrobial use and resistence to the patient, community, medical, and economy inthe world and in the region: global response needed
-Implikasi resistensi antimikroba terhadap beban pemerintah dalam sumber daya biaya, sarana dan manusia untuk pelayanan kesehatan.
-Kebijakan pengawasan peredaran antimikroba di Indonesia.
-Antimikrobial update: where we are now ?
-Peran dan tugas komite PPRA dalam pengendalian resistensi antibiotik di rumah sakit
-Pengaturan obat antimikroba dalam formularium nasional untuk pencegahan dan pengendalian resistewnsi antimikroba
-Peran farmasis dalam pencegahan dan pengendalian resistensi antimikroba
-Perilaku dan perlindungan konsumen dalam pengguanaan antimikroba di masyarakat.